Dokar

Dokar sebagai salah satu alat transportasi darat, hingga kini tetap mengada. Bahkan di Jembrana, dokar telah menjadi semacam identitas. Berkeliling kota dengan dokar menciptakan kenikmatan tersendiri bagi para penumpangnya. Klasik! Itulah kesan pertama yang dirasakan ketika pertama kali duduk di belakang kusir dokar yang melecuti kudanya.

Berbicara mengenai dokar seolah menghempaskan kita ke kehidupan masa lampau. Sebuah kenangan ketika dokar masih menjadi alat transportasi utama di seluruh negeri ini. Bahkan di Kabupaten Jembrana, dokar telah menjadi semacam identitas yang melekat kuat. Dokar tetap melaju dengan sisa-sisa kejayaannya di tengah deru kendaraan bermotor di tengah-tengah Kota Negara.

Seperti laju kuda yang menarik dokarnya, demikian pula kehidupan yang dilakoni para kusir dokar. Kerja keras telah menjadi pondasi mereka dalam menantang dan menjalani kehidupan. Seperti laju kuda itu pula, mereka berpacu mengais rejeki, mengumpulkan lembaran demi lembaran rupiah sebagai “oleh-oleh” anak istri yang senantiasa menyambut mereka dengan kehangatan cinta sebuah keluarga.

Masa suram mulai menghantui kehidupan kusir dokar sejak tahun 1985. Angkutan kota dan ojek seolah “merampas” lahan hidup mereka. Mau tak mau, para kusir dokar harus tetap bertahan seraya mencari jalan keluar untuk menjaga keberadaan mereka di tengah gempuran jaman. Karena sedetik saja mereka berhenti, maka kekuatan kapitalisme akan melindas kehidupan mereka.

***

Kehidupan memang senatiasa menyimpan misterinya sendiri. Begitu pula yang dialami para kusir dokar di Jembrana. Mereka seakan terombang-ambing di dalam ketidakpastian. Mereka hanya bisa pasrah dan iklas melakoni pekerjaanya.

Pertaruhan hidup memang semakin menghantui para kusir dokar. Situasi ini dipahami betul oleh para kusir dokar. Karena lain pemimpin, lain pula kebijakannya. Apakah mereka (masih) tetap bisa melakoni “upacara” sebagai kusir dokar, ataukah harus menyerah pada genggaman tangan-tangan kapitalis di era modernisasi.

Bentuk-bentuk proteksi seperti pembuatan jalur khusus di kantong-kantong kesenian lokal sebagai jalur atau lintasan khusus dokar mungkin dapat menjadi bentuk proteksi yang cukup bijaksana. Tentunya, pemerintah harus berpartisipasi aktif menghidupkan kembali kesenian-kesenian lokal khas Jembrana yang saat ini seolah mati suri.

Tidaklah salah jika kemudian pemerintah berkaca pada DI Yogjakarta. Di sana, keberadaan dokar juga menjadi salah satu identitas kota yang menyandang predikat sebagai Kota Pelajar. Pemerintah mengoptimalkan potensi dokar sebagai transportasi wisata, yang (sebagian besar) difokuskan di sepanjang Malioboro.

Menghidupkan kembali gairah “memiliki” dokar tentunya juga menjadi langkah sederhana yang bisa dilakukan. Pemerintah harus mengawali kecintaan masyarakat terhadap alat transportasi tradisional ini melalui penggunaan dokar secara berkesinambungan. Karena sepakat atau tidak, kita harus jujur bahwa masyarakat bangsa ini sangatlah latah. “Kelemahan” ini dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi atau merubah pola pikir masyarakat terhadap segala sesuatu yang (dianggap) modern. Bentuk-bentuk proteksi memang harus segera dilakukan agar Kota Negara tidak kehilangan salah satu “identitasnya”.

0 komentar::

Posting Komentar