Politik = Raja?

Dalam kehidupan kekinian, sangatlah jelas dan terasa bahwa keberpihakan kita secara dominan adalah ranah politik. Ini tentu karena (konon) ada keyakinan bahwa di negeri ini, politik itu adalah segala-galanya. Sementara dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara selain politik, harus setia mengekor. Pengalaman juga telah menunjukkannya, apapun yang dilakukan di negeri ini, seluruhnya ditentukan lewat deal-deal politik, termasuk juga menyangkut dunia pendidikan. Mau mundur, mau maju, atau mau jalan di tempat saja, seluruhnya ditentukan lewat sebuah proses politik antara legeslatif dan eksekutif.

Pemilu Legeslatif memang masih menyisakan cerita. Lihatlah bagaimana hiruk-pikuknya Pemilu, mulai dari kisah para Caleg yang tidak jarang berujung maut dan mengharu-biru, lakon penuh gelak tawa, hingga aksi tipu-tipu. Bahkan, saling tuding terjadi hingga gugat-menggugat hasil Pemilu. Di negeri ini terkesan, urusan politik, salah satunya Pemilu, adalah segala-galanya!

Jika demikian keadaannya, bagaimana dengan bidang yang lainnya? Dunia pendidikan, misalnya. Padahal di dalam bait-bait Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tetirah tertinggi konstitusi negara Indonesia sangatlah jelas disebutkan bahwa mencerdaskan kehidupan berbangsa adalah sebuah kemutlakan yang harus diselenggarakan oleh negara.

Runyamnya proses perhelatan politik demokrasi seolah telah membuat bangsa ini melupakan kisi-kisi kehidupan lainnya. Adakah upaya yang dilakukan segencar perjuangan untuk memenangkan pesta rakyat?

Jika berkaca dari realita yang terjadi, dapat dikatakan saat ini politik adalah segala-galanya bagi bangsa. Siapa yang kuat dan memiliki dominasi kuat di pemerintahan, maka ialah yang menentukan kebijakan. Rumusan-rumusan yang telah disepakati bangsa ini pun akhirnya terabaikan. Ini juga mengindikasikan, para elit adalah seorang politisi, bukan negarawan. Mereka bukanlah seseorang yang benar-benar menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Semestinya, kesetiaan pada partai politik pada akhirnya harus diakhiri ketika ada panggilan untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara.

Pengingkaran
Dominasi bidang politik sangatlah kentara lantaran pengabaian-pengabaian yang dilakukan ketika terjadi kekalutan. Mencari ”kebenaran” tentu harus tetap dilakukan ketika terjadi penyimpangan. Namun satu hal, ini bukanlah alasan yang bijaksana untuk melakukan pengingkaran-pengingkaran terhadap sisi kehidupan lainnya.

Nyinyir rasanya ketika sebuah partai politik melakukan gugatan atas indikasi adanya kecurangan. Padahal kita semua tahu, tidak ada partai politik yang benar-benar jujur di dalam perilakunya untuk mencapai tampuk kekuasaan. Inikah alasan untuk mengabaikan hal yang lainnya yang jauh lebih penting dari sekedar kekuasaan?

Pengabaian dan pengingkaran yang dilakukan atas nama kepentingan politik tentu harus diakhiri. Masih banyak urusan bangsa yang jauh lebih penting dari sekedar perebutan kekuasaan. Lihat saja bagaimana pengabaian-pengabaian yang dilakukan terhadap generasi muda Indonesia (baca:siswa). Ketika mereka sibuk ‘mempertaruhkan’ masa depan mereka, bapak-bapak kita di atas justru sibuk sendiri memikirkan strategi merebut kekuasaan!

Jika demikian keadaannya, apa yang dapat diharapkan dari bidang pendidikan yang selalu menjadi “ekor” dari kepentingan politik para pemegang kekuasaan? Entahlah!
Baca selanjutnya...

Pesta (Katanya!), kok Ribut?!

Seperti yang saya duga sebelumnya, Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD tingkat I, DPRD tingkat II dan DPD akan kisruh. Validitas data yang menyebabkan banyaknya jutaan warga negara kehilangan hak konstitusinya disinyalir menjadi permasalahan yang utama. Benarkah demikian?

Secara awam, isu yang diangkat untuk menggugat pelaksanaan Pemilu kali ini memang benar adanya. Tapi yang sangat disayangkan, diantara sesama anak bangsa saling menyalahkan dan terkesan saling menjatuhkan. Parpol menyalahkan KPU pemerintah, sementara pemerintah menyalahkan KPU sebagai lembaga independen penyelenggara Pemilu. Dan KPU tentu tak mau ketinggalan, dengan menyebutkan permasalahan DPT tersebut sebagai persoalan kecil dari keseluruhan proses Pemilu.

Sungguh disayangkan, memang. Apalagi jika dicermati, seluruh komponen tersebut berada pada posisi yang sama-sama salah. Berada pada posisi yang tidak dibenarkan untuk mengklaim salah satu pihak sebagai “pesakitan”.

Permasalahan DPT yang menjadi kunci kisruh Pemilu (disamping permasalahan lain, seperti indikasi adanya kecurangan yang dilakukan secara sistematik) sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah sebagai fasilitator, KPU sebagai penyelenggara dan partai politik sebagai peserta Pemilu.

Kesadaran bersama
Sejatinya, permasalahan DPT tidak harus terjadi jika seluruh komponen melibatkan dirinya secara langsung dalam proses Pemilu. Tentunya sebelum penetapan DPT, ada proses atau tahapan yang dilakukan (DPS-daftar pemilih sementara) untuk menghasilkan DPT yang valid. Pertanyaannya, sudahkah kita sebagai warga negara mau ambli bagian dalam proses penetapan DPT itu? Sudahkah parpol turut mengawasi penyusunan DPT, terutama di daerah-daerah yang diklaim sebagai kantong suara mereka?

Inilah yang harus disadari! Pemilu tanpa partisipasi aktif seluruh komponen niscaya akan menghasilkan sebuah pesta demokrasi yang nyinyir dan cengeng, terutama dari pihak-pihak yang “merasa” dirugikan oleh hasil pemilihan tersebut.

Jadi, sudahlah. Masih banyak tugas yang harus dilakukan. Sungguh, ada yang jauh lebih dasyat dari permasalahan ini!
Baca selanjutnya...

Dokar

Dokar sebagai salah satu alat transportasi darat, hingga kini tetap mengada. Bahkan di Jembrana, dokar telah menjadi semacam identitas. Berkeliling kota dengan dokar menciptakan kenikmatan tersendiri bagi para penumpangnya. Klasik! Itulah kesan pertama yang dirasakan ketika pertama kali duduk di belakang kusir dokar yang melecuti kudanya.

Berbicara mengenai dokar seolah menghempaskan kita ke kehidupan masa lampau. Sebuah kenangan ketika dokar masih menjadi alat transportasi utama di seluruh negeri ini. Bahkan di Kabupaten Jembrana, dokar telah menjadi semacam identitas yang melekat kuat. Dokar tetap melaju dengan sisa-sisa kejayaannya di tengah deru kendaraan bermotor di tengah-tengah Kota Negara.

Seperti laju kuda yang menarik dokarnya, demikian pula kehidupan yang dilakoni para kusir dokar. Kerja keras telah menjadi pondasi mereka dalam menantang dan menjalani kehidupan. Seperti laju kuda itu pula, mereka berpacu mengais rejeki, mengumpulkan lembaran demi lembaran rupiah sebagai “oleh-oleh” anak istri yang senantiasa menyambut mereka dengan kehangatan cinta sebuah keluarga.

Masa suram mulai menghantui kehidupan kusir dokar sejak tahun 1985. Angkutan kota dan ojek seolah “merampas” lahan hidup mereka. Mau tak mau, para kusir dokar harus tetap bertahan seraya mencari jalan keluar untuk menjaga keberadaan mereka di tengah gempuran jaman. Karena sedetik saja mereka berhenti, maka kekuatan kapitalisme akan melindas kehidupan mereka.

***

Kehidupan memang senatiasa menyimpan misterinya sendiri. Begitu pula yang dialami para kusir dokar di Jembrana. Mereka seakan terombang-ambing di dalam ketidakpastian. Mereka hanya bisa pasrah dan iklas melakoni pekerjaanya.

Pertaruhan hidup memang semakin menghantui para kusir dokar. Situasi ini dipahami betul oleh para kusir dokar. Karena lain pemimpin, lain pula kebijakannya. Apakah mereka (masih) tetap bisa melakoni “upacara” sebagai kusir dokar, ataukah harus menyerah pada genggaman tangan-tangan kapitalis di era modernisasi.

Bentuk-bentuk proteksi seperti pembuatan jalur khusus di kantong-kantong kesenian lokal sebagai jalur atau lintasan khusus dokar mungkin dapat menjadi bentuk proteksi yang cukup bijaksana. Tentunya, pemerintah harus berpartisipasi aktif menghidupkan kembali kesenian-kesenian lokal khas Jembrana yang saat ini seolah mati suri.

Tidaklah salah jika kemudian pemerintah berkaca pada DI Yogjakarta. Di sana, keberadaan dokar juga menjadi salah satu identitas kota yang menyandang predikat sebagai Kota Pelajar. Pemerintah mengoptimalkan potensi dokar sebagai transportasi wisata, yang (sebagian besar) difokuskan di sepanjang Malioboro.

Menghidupkan kembali gairah “memiliki” dokar tentunya juga menjadi langkah sederhana yang bisa dilakukan. Pemerintah harus mengawali kecintaan masyarakat terhadap alat transportasi tradisional ini melalui penggunaan dokar secara berkesinambungan. Karena sepakat atau tidak, kita harus jujur bahwa masyarakat bangsa ini sangatlah latah. “Kelemahan” ini dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi atau merubah pola pikir masyarakat terhadap segala sesuatu yang (dianggap) modern. Bentuk-bentuk proteksi memang harus segera dilakukan agar Kota Negara tidak kehilangan salah satu “identitasnya”.
Baca selanjutnya...